Bahan Bacaan : Markus 7:24-30
Pendahuluan
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Pertanyaan Refleksi
Sebelum kita merenungkan lebih jauh, mari kita renungkan beberapa pertanyaan ini:
- Apakah saya pernah merasa diri tidak layak di hadapan Tuhan karena latar belakang, masa lalu, atau kelemahan saya?
- Apakah saya pernah membatasi kasih Tuhan, menganggap hanya kelompok tertentu saja yang pantas menerima perhatian-Nya?
- Bagaimana sikap saya terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan, status sosial, atau latar belakang budaya?
Isi Renungan
Kisah di Markus 7:24-30 adalah kisah tentang seorang perempuan Siro-Fenesia. Ia bukan orang Yahudi, bahkan berasal dari bangsa yang dianggap najis dan kafir. Dalam tradisi Yahudi saat itu, bangsa non-Yahudi dianggap tidak pantas menerima berkat Allah yang kudus.
Perempuan ini datang dengan keberanian yang luar biasa. Ia memohon agar Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan roh jahat. Namun jawaban Yesus di ayat 27 cukup mengejutkan, "Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing."
Di sini, Yesus seperti menguji iman perempuan itu. Bukan karena Yesus tidak peduli, tetapi Ia ingin menyingkapkan iman yang sejati, bahwa kasih dan kuasa-Nya tidak dibatasi oleh garis suku, agama, dan budaya.
Perempuan itu menunjukkan kerendahan hati dan pengharapan yang besar, "Benar Tuhan, tetapi anjing-anjing di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak." Jawaban iman inilah yang menggerakkan hati Yesus. Anaknya pun disembuhkan.
1. Makna Teologis Pernyataan Perempuan Siro-Fenesia
Kalimat ini memiliki kedalaman iman dan pengakuan teologis yang luar biasa. Beberapa makna teologis yang bisa ditarik adalah:
a. Pengakuan terhadap Kedaulatan Yesus
Perempuan ini memanggil Yesus dengan sebutan "Tuhan" (Yunani: Kyrios), yang menunjukkan pengakuan akan otoritas dan kedudukan Yesus sebagai pribadi yang berkuasa, bukan sekadar guru atau tabib biasa. Ini bukan hanya gelar penghormatan, tetapi juga pengakuan iman bahwa Yesus adalah Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu, termasuk atas kesembuhan dan kuasa mengusir roh jahat.
b. Pengakuan akan Hak Istimewa Israel, tetapi Tetap Berharap
Perempuan ini tidak menyangkal bahwa ada prioritas khusus bagi Israel sebagai umat pilihan (baca: "anak-anak" dalam perumpamaan Yesus merujuk pada Israel). Namun, ia juga meyakini bahwa kasih Allah melimpah, bahkan sekecil apapun bagian yang ‘jatuh’ dari meja, tetap memiliki kuasa dan anugerah bagi mereka yang bukan bagian dari Israel. Ini mencerminkan pemahaman yang benar tentang kelimpahan rahmat Allah.
c. Gambaran tentang Anugerah yang Melimpah
Dalam teologi Kristen, kita memahami bahwa rahmat Allah begitu berlimpah, tidak terbatas hanya untuk satu kelompok atau satu bangsa saja. Perempuan ini menyadari bahwa sekalipun ia bukan bagian dari umat pilihan, kasih dan kuasa Allah cukup meluap hingga menjangkau dirinya dan anaknya. Ini menggambarkan universalitas kasih Allah yang pada akhirnya dinyatakan secara penuh dalam misi Kristus bagi seluruh bangsa.
d. Iman yang Rendah Hati
Pernyataan perempuan ini juga menunjukkan kerendahan hati teologis. Ia tidak datang menuntut, tetapi dengan rendah hati menempatkan dirinya seperti "anjing di bawah meja". Ini bukan penghinaan diri, tetapi kesadaran mendalam bahwa segala sesuatu yang ia terima bukan karena haknya, melainkan semata-mata karena anugerah dan belas kasihan Tuhan. Teologinya tidak bersandar pada klaim kelayakan diri, tetapi sepenuhnya bersandar pada kemurahan Allah.
Melalui kisah ini, kita belajar bahwa kasih Yesus melampaui batas etnis, budaya, bahkan batas-batas teologis yang diciptakan manusia. Ia datang sebagai Juruselamat bagi semua, baik Yahudi maupun non-Yahudi, kaya maupun miskin, terhormat maupun tersisih.
Cerita Inspirasi
Kisah kasih Allah yang melampaui batas juga kita temukan dalam kisah Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25-37). Orang Samaria, yang secara budaya dipandang hina oleh orang Yahudi, justru menjadi contoh teladan kasih sejati. Ia menolong orang yang seharusnya adalah "musuhnya".
Yesus ingin menunjukkan bahwa kasih sejati tidak mengenal batas-batas buatan manusia. Kasih yang berasal dari Allah melintasi garis suku, agama, dan status sosial. Tuhan memanggil kita bukan hanya untuk menerima kasih itu, tetapi juga menjadi saluran kasih-Nya bagi semua orang.
Implikasi dalam Kehidupan Jemaat
Menghapus Prasangka dan Diskriminasi
Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk tidak memandang orang berdasarkan latar belakang suku, agama, atau status sosialnya. Jemaat yang menghidupi kasih Kristus adalah jemaat yang merangkul semua orang tanpa diskriminasi.Membangun Jembatan Kasih
Yesus telah menghancurkan dinding pemisah, maka kita dipanggil untuk membangun jembatan. Di tengah masyarakat yang terpecah oleh perbedaan, gereja harus tampil sebagai komunitas yang inklusif, merangkul mereka yang berbeda, bahkan yang dianggap "berbeda keyakinan".Menjadi Saluran Kasih di Tengah Keberagaman
Di lingkungan kita, banyak orang yang merindukan kasih yang tulus, tanpa syarat. Kasih Yesus yang kita terima harus mengalir kepada mereka, terlepas dari siapapun mereka. Kasih Kristus melampaui batas agama, status ekonomi, dan perbedaan lainnya.
Kesimpulan
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Melalui kisah perempuan Siro-Fenesia ini, kita belajar bahwa kasih Yesus tidak terbatas pada kelompok tertentu saja. Kasih-Nya melampaui batas etnis, budaya, agama, dan status sosial.
Tembok-tembok yang sering kita bangun di dalam hati kita—prasangka, kebencian, dan eksklusivitas—harus dihancurkan. Sebab, kasih Kristus adalah kasih yang tidak terbatas, kasih yang menjangkau yang terpinggirkan, yang terabaikan, bahkan yang dianggap "tidak layak" oleh dunia.
Kiranya kita semua dipanggil untuk hidup dalam kasih yang melampaui batas, sehingga kasih Kristus nyata melalui hidup dan pelayanan kita setiap hari. Amin.

No comments:
Post a Comment