Oleh Ferluminggus Bako, S.Th
Bacaan Alkitab : Matius 21 : 1-11
Pendahuluan: Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja
Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,
Dunia tempat kita tinggal hari ini sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Kita melihat dan mendengar ancaman perang nuklir yang menegangkan hubungan antarbangsa. Perang dagang antara negara-negara adikuasa membuat ekonomi dunia goyah, dan krisis kemanusiaan terus berlangsung di banyak wilayah konflik, seperti di Timur Tengah. Semuanya ini menunjukkan betapa dunia haus akan damai.
Namun, gejolak tidak hanya terjadi di tingkat global. Di ruang lingkup yang lebih kecil, di tanah kita sendiri—di Kabupaten Sikka—kita menyaksikan persoalan serius: tidaknya tersedia dokter anestesi di rumah sakit daerah. Ini bukan hanya menjadi krisis layanan kesehatan, tetapi juga menjadi api yang menyulut perpecahan sosial.
Pro dan kontra pun muncul. Masyarakat terbagi. Ada yang menyalahkan pemerintah daerah, ada yang menyalahkan rumah sakit, ada pula yang menyalahkan kelompok tertentu. Media sosial dipenuhi narasi saling menyalahkan, bahkan ujaran kebencian dan ancaman. Situasi ini menunjukkan bahwa ketiadaan damai bukan hanya karena konflik bersenjata, tetapi juga karena hati yang kehilangan kasih dan kelembutan.
Dalam konteks seperti inilah, kita diundang untuk merenungkan misi perdamaian sejati, seperti yang dicontohkan oleh Yesus Kristus dalam perikop Matius 21:1–11.
Isi Renungan
1. Makna Alkitabiah: Yesus Masuk Yerusalem dalam Keadaan Tidak Damai
Perikop ini menggambarkan Yesus memasuki Yerusalem menjelang Paskah. Yerusalem bukan kota biasa—ini adalah pusat ibadah umat Yahudi, simbol kekudusan dan perjumpaan dengan Allah. Namun ironisnya, tempat ini tidak dalam keadaan damai. Di balik megahnya Bait Allah, terdapat ketidakadilan, penindasan oleh penguasa agama, dan hipokrisi spiritual.
Yesus memasuki kota itu bukan dengan kuda perang atau unta kebesaran, tetapi dengan seekor keledai muda. Ini bukan kebetulan. Ini adalah penggenapan nubuat Zakharia 9:9 yang berbunyi:
"Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai."
Keledai muda itu belum pernah ditunggangi siapa pun—tanda bahwa ia tidak bercela dan dikhususkan untuk misi suci. Kedatangan Yesus ke Yerusalem bukan untuk memperkuat kekuasaan politik, melainkan untuk menyatakan damai Allah yang sejati.
2. Makna Teologis: Perdamaian Sejati Menanggalkan Kebesaran
Dalam teologi kerajaan Allah, damai bukan datang dari senjata atau kekuatan militer, melainkan dari kerendahan hati dan kasih yang tulus. Yesus bisa saja datang dengan kuda putih dan rombongan prajurit malaikat. Tapi Ia memilih keledai—simbol kesederhanaan, ketabahan, kelemahlembutan, dan ketaatan.
Ini adalah pelajaran besar:
Untuk membawa misi perdamaian sejati, kita harus menanggalkan atribut kebesaran, kekuasaan, dan ego.Damai tidak datang dari status sosial atau kekuatan politik, tapi dari hati yang rela merendah seperti Kristus.
Bandingkan dengan contoh masa kini: Pasukan Garuda Indonesia diutus ke Timur Tengah dalam misi perdamaian PBB. Di satu sisi, ini adalah langkah baik untuk menjaga perdamaian. Namun di sisi lain, kita melihat bagaimana misi itu juga dijadikan ajang promosi kekuatan militer Indonesia melalui alutsista yang ditampilkan.
Apakah itu mencerminkan perdamaian sejati? Ataukah masih ada semangat unjuk kekuatan di baliknya?
Yesus mengajarkan bahwa perdamaian sejati bukan sekadar diplomasi, tapi kerendahan hati. Bukan tentang kekuatan, tetapi tentang kasih.
3. Makna Rohani: Kita Adalah Pembawa Damai
Yesus masuk Yerusalem bukan hanya untuk menunjukkan damai Allah, tetapi juga untuk memanggil umat-Nya menjadi agen perdamaian. Kita—gereja, jemaat—adalah tubuh Kristus yang harus meneruskan misi itu.
Kita tidak dipanggil untuk menjadi "kuda" yang mengintimidasi atau "unta" yang sombong, tetapi untuk menjadi "keledai"—pembawa Kristus ke tengah dunia yang gelisah.
Dalam situasi kita hari ini—baik dalam konflik sosial akibat masalah tenaga kesehatan, maupun konflik batin dalam keluarga dan komunitas—Tuhan mau memakai kita untuk menjadi jembatan damai, bukan penyulut perpecahan.
Misi ini bukan milik satu orang. Ini adalah misi bersama, yang dilakukan dalam kasih, kesederhanaan, dan kelemahlembutan.
Implikasi dalam Kehidupan Jemaat
-
Bangun sikap damai dalam kehidupan sehari-hari—baik di rumah, di gereja, maupun di media sosial.
-
Tanggalkan keangkuhan—jangan membawa misi perdamaian dengan nada tinggi atau semangat menyalahkan.
-
Jadilah pembawa Kristus, seperti keledai muda itu—siap dipakai Tuhan untuk menghadirkan kasih di tengah dunia yang keras.
-
Gereja harus menjadi ruang damai—bukan tempat konflik, melainkan ruang pemulihan.
Pertanyaan Reflektif
-
Apakah saya sudah menjadi pembawa damai dalam kehidupan keluarga, masyaraat dan lingkungan kerja saya?
-
Apakah saya masih memegang atribut kebesaran atau gengsi pribadi yang menghalangi saya untuk merendahkan diri?
-
Di tengah konflik yang ada, apakah saya membawa Kristus atau justru membawa kepentingan pribadi?
Kesimpulan
Mari kita semua ikut ambil bagian dalam misi ini. Dunia tidak akan menjadi damai hanya karena perjanjian internasional. Damai dimulai dari hati yang tunduk kepada Tuhan, dari sikap hidup yang meneladani Yesus, dari komunitas yang saling membangun, bukan saling menjatuhkan.
No comments:
Post a Comment