I. Pendahuluan
Shalom
saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, Pada masa kini, mendidik dengan “rotan”
sering dianggap kuno, keras, bahkan salah secara etika. Dunia modern mendorong pendekatan
pendidikan yang lembut, tetapi Alkitab tetap menyuarakan pentingnya ketegasan
dalam pendidikan anak. Dalam Amsal 23:12–18, kita diingatkan bahwa didikan yang
keras tapi penuh kasih tidak bertujuan menyakiti, tetapi menuntun kepada hidup
dalam kebenaran.
Perikop ini
mengandung nasihat bijak tentang pentingnya disiplin dalam mendidik anak-anak,
serta mengajak setiap orang percaya untuk membuka hati terhadap hikmat.
II. ISI KHOTBAH
Apakah yang dimaksud
dengan didikan
Dalam kehidupan
sehari-hari kita mengenal dan tidak asing lagi dengan istilah didikan.
Secaraetiologi, didikan berasal dari kata dasar didik yang merupakan bentuk
aktif (bukan pasif). Didik berarti memberi pelajaran, membimbing, melatih atau
membentuk. Orang yang mendidik disebut pendidik.
Tambahan akhiran
“-an” membentuk kata benda menjadi “hasil dari proses mendidik”
Jadi didikan adalah Hasil
atau proses dari kegiatan mendidik; pembentukan akhlak, karakter, atau
kecakapan seseorang melalui pengajaran dan pembiasaan.
Pendidikan
diserahkan kepada sekolah dan guru/pendidik. Peran orang tua dalam mendidik
semakin tergerus oleh berbagai rutinitas dan kegiatan sehari-hari terutama dalam kegiatan mencai nafkah dan
kegiatan sosial lainnya sesuai dengan peran dalam masing-masing masyarakat.
Namun dalam firman
tuhan yang kita baca dan renungkan bahwa kewajiban orang tua dalam mendidik
anak adalah perintah dalam akitab agar anak menjadi orang yang senantiasa hidup
dalam kebenaran dan kebajikan.
Bacaan firman Tuhan Amsal 23 : 12-18 yang akan kita
renungkan, dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
1 Membuka Hati pada didikan
Ayat 12: Mengajak kita membuka hati kepada didikan dan telinga kepada perkataan yang memberi pengetahuan.
Ayat ini menekankan bahwa proses pembentukan moral dan spiritual seseorang dimulai dari kerelaan hati dan keterbukaan diri terhadap didikan. Tuhan ingin kita menjadi murid yang siap dibentuk, bukan hanya mendengar tetapi juga merenung dan menghidupi pengajaran yang benar. Didikan Allah tidak selalu menyenangkan, tetapi selalu menyelamatkan.
Bandingkan dengan Amsal 1:7 – "Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan."
Secara filosofis, ayat ini berbicara tentang disiplin batin dan keterarahan pikiran. Tidak cukup hanya memiliki informasi (knowledge), kita juga perlu memiliki keterbukaan hati dan komitmen moral untuk mentransformasikannya menjadi kebijaksanaan (wisdom). Orang bijak bukanlah yang banyak tahu, tetapi yang tahu bagaimana hidup benar.
Sebuah ilustrasi :
Bayangkan seorang murid di kelas. Ia duduk di sana, tetapi pikirannya ada di tempat lain. Ia tidak memperhatikan guru, tidak mencatat, bahkan merasa tidak perlu belajar. Ketika ujian datang, ia gagal, bukan karena tidak punya waktu, tetapi karena tidak mau membuka diri untuk belajar. Begitu juga kita di hadapan Tuhan, apakah hati kita hadir dan terbuka saat Dia mendidik kita?
2. Jangan Menolak Didikan
Amsal 23:13–14 "Jangan menolak didikan dari anak, kalau engkau memukulnya dengan rotan, ia tidak akan mati. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati."
Perintah ini bersifat aktif dan tegas: orang tua atau pendidik dilarang membiarkan anak tumbuh tanpa pembentukan. “Menolak didikan” di sini berarti menghindar dari tanggung jawab untuk: Menegur saat anak salah, Menanamkan disiplin moral, Memberikan batasan dan konsekuensi. Orang tua yang tidak mendidik dengan disiplin sebenarnya tidak mengasihi anaknya (lih. Amsal 13:24 – "Siapa yang tidak menggunakan tongkat, membenci anaknya").
“Kalau engkau memukulnya dengan rotan, ia tidak akan mati”. Ini bukan promosi kekerasan, tetapi gambaran hiperbolik (ungkapan berlebihan untuk penekanan). Ayat ini menekankan bahwa: Disiplin fisik yang wajar dan bertanggung jawab (seperti pukulan ringan dengan rotan) tidak akan membinasakan anak, anak tidak akan "mati" secara fisik, tetapi justru hidup dalam kebenaran.
“Engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati (Sheol)”. Frasa ini menunjukkan konsekuensi rohani dan moral dari anak yang tidak dididik: Anak yang dibiarkan tanpa disiplin cenderung hidup dalam dosa dan bisa menuju kebinasaan kekal. Disiplin saat ini bisa menyelamatkan dari kehancuran di masa depan. Dengan kata lain, hukuman yang benar hari ini bisa menyelamatkan masa depannya secara moral dan rohani.
Ada kata bijak yang mengatakan “Lebih baik anak menangis karena disiplin hari ini, daripada kita menangis karena kehancurannya di masa depan.”
3. Anak Hidup dalam kebenaran, orang tua bersuka cita
Amsal 23:15–16 (TB).
"Hai anakku, jika hatimu bijak, maka hatiku juga bersukacita. Bahkan
batinku akan bersorak-sorak, kalau bibirmu mengatakan yang jujur."
"Hai anakku,
jika hatimu bijak..." Kata "anakku" menunjukkan nada lembut,
kasih, dan relasi intim antara orang tua dan anak, atau seorang guru kepada
murid. "Hati yang bijak" bukan hanya soal kepintaran, melainkan soal
kemampuan moral dan spiritual untuk membedakan yang benar dan yang salah, serta
hidup sesuai kehendak Allah. Hikmat di sini adalah buah dari didikan dan
ketekunan dalam membentuk karakter anak.
"Maka hatiku
juga bersukacita". Ini adalah respons emosional yang dalam dari seorang
ayah/ibu/pemimpin rohani terhadap keberhasilan pendidikan yang ia tanamkan. Sukacita
ini bukan karena anak kaya, populer, atau berprestasi duniawi, melainkan karena
anak hidup dalam kebenaran dan bijaksana. Inilah buah dari didikan yang
berhasil: hati orang tua tidak menyesal, tetapi bersyukur karena jerih payahnya
tidak sia-sia.
"Bahkan batinku
akan bersorak-sorak..." Kata "bersorak-sorak" menggambarkan sukacita batin yang meluap-luap,
bukan hanya ekspresi luar biasa tapi juga kepuasan terdalam. Hal ini menandakan
bahwa kebahagiaan orang tua tidak lengkap jika anaknya tidak hidup dalam
kebenaran.
"Kalau bibirmu
mengatakan yang jujur". Ucapan jujur adalah buah dari hati yang benar. Ketika
anak mampu mengucapkan hal-hal yang benar, tidak memutarbalikkan fakta, dan
menjaga integritas dalam perkataan, itu adalah tanda kedewasaan iman dan
karakter. Kejujuran menunjukkan bahwa didikan telah tertanam, bukan hanya dalam
perilaku, tapi juga dalam nurani.
4.
Peringatan untuk
tidak iri kepada orang berdosa
Amsal 23:17–18 (TB).
"Janganlah hatimu iri kepada orang yang berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN
senantiasa. Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan
hilang."
“Janganlah hatimu
iri kepada orang yang berdosa...”. Iri
hati adalah penyakit hati yang membuat seseorang gelisah melihat keberhasilan
orang lain, terutama mereka yang hidup dalam dosa namun tampaknya makmur. Amsal
mengingatkan bahwa keberhasilan orang fasik bersifat semu dan sementara,
sedangkan hidup dalam takut akan Tuhan memiliki nilai kekal. Frasa “orang
berdosa” di sini menunjuk pada mereka yang hidup tanpa takut akan Tuhan, namun
tetap menikmati keberhasilan duniawi.
...tetapi takutlah akan TUHAN
senantiasa.” Takut akan Tuhan bukan rasa takut yang menakutkan, tetapi
penghormatan yang dalam, hormat suci, dan kesadaran bahwa Tuhan adalah penguasa
hidup kita. "Senantiasa" berarti
bahwa rasa takut dan hormat kepada Tuhan harus menjadi gaya hidup yang
terus-menerus, bukan sekadar emosi sesaat.
“Karena masa depan sungguh
ada...”I ni adalah penghiburan dan jaminan ilahi: siapa yang hidup dalam takut
akan Tuhan tidak sedang membuang waktu atau hidup sia-sia. "Masa
depan" dalam bahasa Ibrani adalah 'acharit', yang juga bisa berarti akhir
yang baik, hasil akhir, penggenapan. Artinya, hidup takut akan Tuhan akan
menghasilkan akhir yang penuh damai dan sukacita.
“...dan harapanmu tidak akan hilang.” Harapan
dalam Tuhan bukan spekulasi, tapi keyakinan yang kokoh karena didasarkan pada
janji-Nya. Ini berbeda dengan harapan dunia yang mudah sirna. arapan dalam Tuhan berakar pada karakter dan
kesetiaan Allah.
III.
Implikasi dalam Kehidupan Jemaat
- Orang tua dan guru Kristen harus menyadari tanggung jawab besar dalam mendidik anak. Disiplin bukan untuk melampiaskan emosi, tetapi untuk menanamkan nilai kebenaran.
- Jemaat dewasa harus terbuka terhadap teguran Tuhan maupun sesama. Jangan alergi terhadap koreksi, karena di dalamnya terkandung kasih.
- Gereja harus menjadi tempat pendidikan rohani yang tegas namun penuh kasih. Jemaat harus saling menegur dan membimbing dalam kasih, bukan membiarkan yang sesat terus berjalan ke arah kehancuran.
IV. Pertanyaan Refleksi
- Apakah saya selama ini terbuka terhadap didikan Tuhan dan sesama
- Sebagai orang tua atau pendidik, apakah saya sudah mendidik dengan kasih dan ketegasan yang seimbang?
- Apakah saya lebih senang membiarkan demi kenyamanan, atau berani menegur demi keselamatan?
V. Kesimpulan
Tuhan ingin kita punya hati seperti tanah yang subur — siap menerima benih Firman, siap dibajak, dan siap bertumbuh. Bila kita bersedia diarahkan dan dididik, maka hidup kita akan menghasilkan buah kebenaran dan kebijaksanaan yang memuliakan Tuhan.
Didikan yang benar adalah tanggung jawab kasih, bukan kekerasan. Hukuman yang bijak dan penuh kasih adalah bagian dari kasih Tuhan, bukan bertentangan dengan kasih itu. Melalui disiplin yang benar, kita sedang menuntun generasi menuju hidup yang takut akan Tuhan, bukan kehancuran.
Mendidik dengan rotan, secara harfiah maupun simbolik, bukan bentuk kekerasan, tetapi tindakan kasih demi kebenaran. Dalam dunia yang cenderung membiarkan demi kenyamanan, Amsal mengingatkan kita: Disiplin yang bijak dan penuh kasih akan menyelamatkan jiwa, membentuk karakter, dan menyenangkan hati Tuhan.
Ingatlah: “Harapan tidak akan hilang jika takut akan Tuhan menjadi dasar dalam mendidik.”
Mari didik generasi ini bukan hanya untuk sukses dunia, tapi hidup dalam kebenaran yang kekal. Amin.

No comments:
Post a Comment