Saturday, November 8, 2025

Ketika Garis Pelayanan Menjadi Kabur: Tumpang Tindih Peran Diaken dan Penatua dalam Gereja Masa Kini

Pendahuluan

Dalam kehidupan bergereja masa kini, sering kali kita mendengar istilah penatua dan diaken digunakan bergantian, seolah-olah kedua jabatan ini memiliki fungsi yang sama. Tidak jarang pula dalam praktik pelayanan di lapangan, peran dan tanggung jawab antara diaken dan penatua menjadi kabur — baik dalam hal rohani maupun administratif. Akibatnya, struktur kepemimpinan yang seharusnya tertib dan harmonis menjadi tumpang tindih, bahkan menimbulkan kebingungan di tengah jemaat.

Dasar Alkitabiah Jabatan Penatua dan Diaken

Secara Alkitabiah, kedua jabatan ini memiliki dasar dan fungsi yang berbeda:

  • Penatua (Presbyteros) berakar dari Kisah Para Rasul 14:23 dan 1 Timotius 3:1–7. Penatua dipanggil untuk memimpin jemaat secara rohani, menggembalakan, dan menjaga kemurnian ajaran.
  • Diaken (Diakonos) berasal dari Kisah Para Rasul 6:1–6, di mana tujuh orang diangkat untuk melayani kebutuhan praktis agar para rasul dapat fokus pada doa dan pelayanan firman.

Dengan demikian, penatua berfokus pada pelayanan rohani, sementara diaken berfokus pada pelayanan sosial dan administratif. Keduanya tidak bersaing, melainkan saling melengkapi.

Realita di Lapangan: Garis yang Menjadi Kabur

Dalam banyak gereja Protestan — termasuk GMIT — batasan ini sering kali tidak terlihat jelas. Contoh yang umum terjadi di lapangan antara lain:

  • Diaken memimpin ibadah keluarga atau kebaktian minggu tanpa pendeta atau penatua.
  • Penatua mengurus laporan keuangan, mengatur belanja gereja, atau mengambil keputusan proyek fisik tanpa melibatkan diaken.
  • Rapat majelis membahas semua hal tanpa pembedaan antara keputusan rohani dan teknis.
  • Pelayanan diakonia dilakukan bersama tanpa kejelasan tanggung jawab siapa yang memimpin.

Fenomena ini umumnya timbul karena dua hal utama: keterbatasan tenaga pelayan di jemaat lokal dan kurangnya pembinaan berkelanjutan mengenai struktur jabatan gerejawi. Dalam banyak kasus, kepraktisan menjadi alasan utama percampuran peran — padahal hal ini dapat memengaruhi arah pelayanan secara teologis.

Contoh dari Konteks GMIT

Dalam struktur pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), penatua dan diaken merupakan bagian dari Majelis Jemaat yang bekerja bersama pendeta. Namun di beberapa jemaat, terutama di wilayah pedesaan atau kepulauan, terjadi tumpang tindih yang cukup sering:

  • Diaken memimpin ibadah syukur atau kebaktian rumah tangga ketika tidak ada pendeta atau penatua.
  • Penatua menjadi bendahara pembangunan atau proyek fisik gereja.
  • Tugas diakonia dilakukan bersama-sama tanpa pembagian kerja yang jelas.
  • Penatua dan diaken sering saling menggantikan dalam kegiatan pastoral maupun sosial.

Situasi ini menunjukkan fleksibilitas pelayanan jemaat GMIT di lapangan, tetapi juga memperlihatkan perlunya penegasan ulang struktur tanggung jawab sesuai Tata Gereja GMIT dan prinsip Alkitabiah.

Dampak Tumpang Tindih Peran

Jika kondisi ini dibiarkan, beberapa dampak yang muncul antara lain:

  1. Kebingungan otoritas dan fungsi kepemimpinan.
  2. Kelelahan dan ketimpangan beban kerja antar pelayan.
  3. Menurunnya efektivitas pelayanan firman dan sosial.
  4. Potensi konflik internal antar pelayan atau antara pelayan dan jemaat.

Menata Ulang Garis Pelayanan

Agar pelayanan berjalan dengan tertib dan sesuai panggilan masing-masing:

  • Penatua sebaiknya berfokus pada pembinaan iman, pengajaran, dan penggembalaan.
  • Diaken berfokus pada pelayanan sosial, administrasi, dan kesejahteraan jemaat.
  • Majelis perlu membangun pola kerja kolaboratif tanpa saling tumpang tindih.
  • Gereja wajib memberikan pembinaan jabatan dan pelatihan tata gereja secara berkala.

Kesimpulan Hasil Studi di Beberapa Jemaat GMIT

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan wawancara informal dengan beberapa jemaat GMIT di wilayah Kupang, Alor, Sabu, dan Sumba Timur (2021–2024), ditemukan beberapa pola umum:

  1. 70–80% jemaat menunjukkan fleksibilitas jabatan, di mana diaken dan penatua saling menggantikan dalam pelayanan praktis.
  2. Sebagian besar pelayan (sekitar 65%) belum memahami secara teologis perbedaan mendasar antara jabatan diaken dan penatua.
  3. Di jemaat pedesaan, tumpang tindih terjadi karena keterbatasan sumber daya pelayan, sementara di jemaat kota, penyebab utamanya adalah pola kerja tradisional yang sudah terbentuk.
  4. Jemaat yang secara konsisten menerapkan pembagian tugas sesuai Tata Gereja memiliki pelayanan yang lebih efektif, terukur, dan minim konflik.
Temuan ini menegaskan bahwa kebutuhan akan pembinaan struktural dan teologis sangat mendesak. GMIT sebagai gereja induk perlu terus memperkuat pemahaman jabatan melalui pelatihan majelis jemaat, sehingga setiap pelayan bekerja dalam panggilan dan batas tanggung jawab yang jelas.

Penutup

Gereja yang sehat adalah gereja yang mengenal dan menegakkan struktur kepemimpinannya dengan benar. Penatua dan diaken tidak dipanggil untuk bersaing, tetapi untuk melayani bersama — satu di bidang rohani, satu di bidang praktis.
Dengan menata kembali garis pelayanan sesuai Firman dan Tata Gereja, GMIT dapat memperkuat fondasi pelayanannya dan menjadi teladan bagi gereja-gereja Protestan lainnya: tertib dalam struktur, setia dalam pelayanan, dan berbuah dalam kasih Kristus

Daftar Referensi

Referensi Alkitabiah

  • Kisah Para Rasul 6:1–6 – Pemilihan tujuh diaken pertama.
  • 1 Timotius 3:1–13 – Kualifikasi penatua dan diaken.
  • Titus 1:5–9 – Tugas dan karakter penatua.
  • 1 Korintus 12:4–7 – Karunia dan fungsi dalam tubuh Kristus.
  • 1 Petrus 5:1–3 – Tanggung jawab penatua dalam menggembalakan jemaat.

Sumber Kajian Ilmiah dan Literatur

  1. Tata Gereja GMIT (Edisi Revisi 2021) – Bagian III Pasal 23–25 tentang Jabatan Penatua dan Diaken.
  2. Eben Nuban Timo, Teologi Jabatan Gerejawi dalam GMIT, Kupang: Fakultas Teologi UKAW, 2018.
  3. John Stott, The Living Church: Convictions of a Lifelong Pastor, IVP Books, 2007.
  4. Alexander Strauch, Biblical Eldership: An Urgent Call to Restore Biblical Church Leadership, Lewis & Roth, 1995.
  5. Laporan Hasil Studi Lapangan GMIT 2024–2025, Klasis Kupang Timur dan Alor Barat Daya (tidak diterbitkan, hasil wawancara internal).

No comments:

Post a Comment