Wednesday, May 28, 2025

Kesempurnaan Kasih Allah Dalam Kita dan Kita Kepada Sesama

 Bacaan Alkitab : 1 Yohanes 4:7-12

PENDAHULUAN

Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Setiap manusia pada dasarnya mendambakan kasih. kasih yang tulus, tidak bersyarat, dan kekal. Dunia menawarkan berbagai bentuk kasih yang sering kali bersifat sementara dan bersyarat. Namun, kasih yang sejati berasal dari Allah. Hari ini kita akan merenungkan tentang kesempurnaan kasih Allah yang bukan hanya dinyatakan kepada kita, tetapi juga disempurnakan ketika kita mengasihi sesama. Bacaan kita diambil dari 1 Yohanes 4:7-12, sebuah perikop yang sangat dalam dan penuh makna rohaniah.
Apakah yang dimaksud dengan kasih ? Menurut Kamus KBBI, Perasaan sayang (cinta, suka) kepada seseorang, atau dapat diartikan sebagai  suatu keadaan dimana adanya perasaan sayang atau merasa suka kepada sesuatu baik itu kepada manusia maupun kepada benda. Sepintas kata kasih itu mempunyai arti yang sama dengan cinta. Kata kasih dan cinta mempunyai unsur yang sama yaitu perasaan suka atau sayang, tetapi kasih sesungguhnya lebih dalam dari cinta. Cinta hanya bisa dilakukan kepada orang yang kita kenal tetapi kasih bisa dilakukan terhadap orang yang tidak kita kenal atau lihat. Bagi orang Yunani ada 3 kata yang dipakai untuk istilah kasih yaitu : Storge, Filia dan Eros. Dalam kekristenan yang termuat dalam alkitab, kasih itu berasal dari Allah sendiri dan disebut dengan istilah Agape.

ISI RENUNGAN

Mari kita baca bersama 1 Yohanes 4:7-12.

"Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih... Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita." (ay. 7-8, 12)

Yohanes memulai dengan seruan yang hangat dan penuh kasih sayang. Dalam bahasa Yunani, ia menggunakan kata agapētoi, yang berarti "yang terkasih" atau "yang dikasihi". Ini bukan sekadar sapaan sopan, melainkan panggilan emosional dan spiritual: Yohanes berbicara kepada jemaat sebagai satu keluarga rohani yang hidup dalam kasih Kristus.Marilah kita saling mengasihi merupakan inti dari perikop ini. Perintah ini mengandung makna bahawa kasih bukan dilakuksan satu arah teapi dua arah yaitu saling mengasihi. Kasih yang demikian bukan tergantung dari respon orang lain tetapi didorong oleh suatu kehendak dan komitmen yang baik. Kasih demikian bukan hanya dilakukan pada saat keadaan baik baik saja, tetapi semua keadaan bahkan keadaaan sulit sekalipun.

Kasih bukan berasal dari perasaan alami manusia ataupun hasil dari suatu budaya atau normas-norma sosial tertentu. Kasih itu berasal dari Allah itu sendiri Karena Allah adalah kasih (ayat 8), maka setiap tindakan kasih yang murni adalah refleksi dari karakter-Nya. Kita hanya bisa mengasihi jika kita terhubung dengan sumber kasih yaitu Allah itu sendiri. Tanpa ada relasi yang baik dengan Allah, maka mustahil seseorang bisa mewujudkan kasih sejati kepada sesam manusia. setiap orang yang yang saling mengasihi tentunya berasal dari Allah. Kelahiran baru dalam Roh adalah bukti bahwa sesorang telah mengalami transformasi rohani oleh Roh Kudus. Kasih yang sejati berasal dari kelahiran baru dan sesuai dengan kasih Allah yang murni tidak mementingkan diri sendiri, dan penuh pengorbanan.


Makna Alkitabiah

Perikop ini menekankan bahwa Allah adalah sumber dan esensi dari kasih itu sendiri. Yohanes tidak mengatakan Allah memiliki kasih, tetapi Allah adalah kasih. Ini berarti setiap tindakan kasih yang sejati bersumber dari-Nya.

Ayat 9-10 menyatakan bahwa Allah menunjukkan kasih-Nya bukan dengan kata-kata, tetapi melalui tindakan konkret: mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. Inilah kasih yang agape, kasih yang berkorban, tidak menuntut balasan, dan ditujukan bahkan kepada mereka yang tidak layak.

Makna Filosofis

Filosofisnya, kasih bukan sekadar perasaan atau emosi. Dalam pandangan Yohanes, kasih adalah hakikat keberadaan dan relasi kita sebagai ciptaan Allah. Jika manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka mengasihi adalah ekspresi dari keberadaan terdalam kita sebagai makhluk spiritual.

Ketika kita gagal mengasihi, kita kehilangan identitas kita yang sejati. Maka, kasih bukan hanya tindakan moral, tapi esensi eksistensial manusia sebagai refleksi dari Sang Pencipta.

Makna Rohaniah

Secara rohaniah, kasih menjadi tanda kehadiran dan kedewasaan rohani seseorang. Yohanes menulis bahwa "jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita."

Kesempurnaan kasih bukan berarti tanpa cela, tetapi berarti kasih itu mencapai tujuannya, yaitu menyatakan kasih Allah dalam hidup nyata. Kasih menjadi sarana kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Kasih harus dibuktikan melalui tindakan nyata. Pengetahuan tentang Allah saja tidak cukup menyataan kasih Allah. Kasih harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari

CERITA ANALOGI DALAM KEHIDUPAN

Seorang ibu merawat anaknya yang cacat seumur hidup. Ia tidak pernah mengeluh, walau anaknya tidak bisa membalas budi, tidak bisa mengatakan “terima kasih,” bahkan tidak bisa memeluknya. Tapi ibu itu tetap mengasihi dengan sabar, setia, dan penuh pengorbanan.

Ketika ditanya, “Mengapa Anda tidak menyerah?”
Ia menjawab:

“Karena saya mengasihi, bukan karena dia bisa membalas, tetapi karena saya ingin menyatakan kasih Tuhan dalam hidup saya.”

Kasih ibu itu mencerminkan kasih Allah—kasih yang memberi, bukan karena penerima pantas, tetapi karena kasih itu sendiri adalah panggilan. Seperti sungai yang terus mengalir meskipun tidak dipuji oleh bebatuan yang ia basahi.

IMPLIKASI DALAM KEHIDUPAN JEMAAT

  1. Mengasihi sebagai wujud mengenal Allah. Kasih bukan sekadar melakukan kewajiban moral, tetapi sebagai  tanda seseorang lahir dari Allah. Mengasihi berarti menunjukkan bahwa kita hidup dalam terang Kristus dalam dunia.

  2. Mengasihi bukan hanya kepada yang menyenangkan. Kita dipanggil untuk mengasihi tanpa memandang respon dari orang yang dikasihi, karena kasih Allah telah lebih dahulu mengasihi kita yang berdosa.

  3. Kasih sebagai kesaksian kepada dunia. Dunia melihat Kristus melalui kasih kita. Ketika jemaat saling mengasihi, itu menjadi kesaksian nyata akan kehadiran Allah dalam kehiupan jemaat.

PERTANYAAN REFLEKSI

  1. Apakah kasih yang saya berikan kepada orang lain mencerminkan kasih Allah yang tak bersyarat?

  2. Siapa orang yang paling sulit saya kasihi, dan apa yang menghalangi saya untuk mengasihi mereka?

  3. Dalam kehidupan bergereja, apakah saya berkontribusi menciptakan jemaat yang saling mengasihi, atau justru menjadi sumber perpecahan?

KESIMPULAN

Saudara-saudari terkasih,

Kasih Allah tidak hanya untuk dinikmati secara pribadi, tetapi untuk diteruskan kepada sesama. Ketika kita mengasihi, kasih Allah menjadi sempurna di dalam kita—bukan karena kita sempurna, tetapi karena kasih itu telah mencapai tujuannya.

Marilah kita menjadi umat yang dikenal bukan karena gedung gereja yang megah, bukan karena banyaknya aktivitas, tetapi karena kasih yang nyata satu terhadap yang lain.

“Barangsiapa mengasihi, ia lahir dari Allah dan mengenal Allah.” (1 Yoh 4:7)


Sunday, May 25, 2025

Ibadah Bulan Budaya Minggu Ke-empat Etnis Alor: “Kasih yang Memulihkan Relasi” dalam Harmoni Lego-Lego"

Maumere, 25 Mei 2025 — Ibadah Minggu, 25 Mei 2025 di GMIT Kalvari Maumere berlangsung khidmat dalam suasana khas Bulan Budaya, yang pada minggu ke-empat ini mengangkat kekayaan budaya dari etnis Alor. Dengan semangat kebersamaan dan keragaman, ibadah dipimpin oleh Pendeta Ferluminggus Bako, S.Th., dan mengambil bacaan dari Yohanes 21:15-19 di bawah perikop “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Tema renungan kali ini adalah “Kasih yang Memulihkan Relasi.”

Ibadah diawali dengan ulasan narator yang menegaskan nilai luhur budaya Alor melalui tarian lego-lego, sebuah simbol kuat kebersamaan dan persaudaraan. “Alor memang terbagi atas banyak wilayah dengan bahasa yang berbeda, namun lego-lego menjadi tarian pemersatu. Dalam lego-lego, semuanya menjadi satu — bergandeng tangan, bernyanyi, dan bersukacita bersama di setiap peristiwa,” demikian pengantar yang disampaikan. Lego-lego digambarkan sebagai lambang pemulihan relasi dan solidaritas, di mana yang lemah dirangkul oleh yang kuat, dan yang terpisah dipeluk sebagai satu keluarga dalam Tuhan.

Dalam khotbahnya, Pdt. Ferluminggus Bako, menyampaikan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, dan karena itu relasi menjadi bagian penting dalam hidup bersama. Namun relasi antar manusia tidak selalu berjalan mulus dan seringkali menghadapi masalah. "Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan jika terjadi masalah dalam relasi?" ungkap Pdt. Ferluminggus Bako mengajak jemaat merenung.

Mengacu pada kisah Yesus dan Petrus, Pdt. Ferluminggus Bako menekankan bahwa relasi yang terganggu berdampak pada kualitas hidup dan pekerjaan. Setelah Petrus menyangkal Yesus tiga kali, relasi mereka terganggu. Namun Yesus mengambil inisiatif untuk memulihkan relasi tersebut, bukan dengan menyalahkan, tetapi dengan bertanya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”

Tiga kali Yesus bertanya tentang kasih, masing-masing merujuk pada kasih agape dan philia, menandakan betapa dalam dan pentingnya kasih sebagai dasar relasi yang sejati. “Relasi yang rusak bisa dipulihkan dengan kasih". Kalau kita ingin relasi yang harmonis, standar ego manusia harus diturunkan. Ketika relasi dengan Allah baik, maka relasi dengan sesama juga menjadi baik,” jelas Pdt. Ferluminggus Bako.

Lego-lego pun dikaitkan dengan relasi ini, irama yang sama, gerakan yang harmonis, dan tangan yang bergandengan mencerminkan hidup bersama yang seirama. “Jika satu orang fokus pada dirinya sendiri, maka keindahan tariannya hilang. Begitu pula dalam relasi manusia,” tambahnya.

Ibadah ditutup dengan semangat bahwa relasi antara manusia dan Allah, serta sesama manusia, adalah bagian dari misi Allah untuk kebaikan dunia. Relasi itu dibangun bukan atas dasar kepentingan pribadi, tetapi atas dasar kasih yang menyatukan dan memulihkan.

Bulan Budaya GMIT Kalvari Maumere terus menjadi ruang inkulturatif iman Kristen dan budaya lokal, memperkuat identitas sekaligus menumbuhkan kasih dalam kebersamaan umat.

Saturday, May 24, 2025

Ibadah Rutin UPP Profesional PNS, P3K, dan Non ASN : Wujud Implementasi Program Kerja 2025


Sabtu, 24 Mei 2025 Ibadah rutin bulanan Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Profesional PNS, P3K, dan Non ASN kembali dilaksanakan dengan penuh sukacita dan hikmat di Rumah Keluarga Bapak Nithanel Ndaumanu  pada pukul 18.00 WITA. Ibadah ini dipimpin oleh Pdt. Yeni Sofiany Isliko, S.Si dan diikuti oleh para anggota UPP yang berasal dari  berbagai instansi dan profesi. 

Ibadah ini merupakan bagian dari implementasi program kerja UPP Profesional GMIT Kalvari Maumere Tahun 2025, yang bertujuan untuk membangun dan memperkuat iman serta spiritualitas para Anggota UPP profesional Gereja GMIT Kalvari Maumere yang berprofesi di lingkungan pemerintahan dan bagian pelayanan masyarakat. 

Dalam ibadah kali ini, bacaan Alkitab diambil dari Daniel 3:28–30, yang mengisahkan keberanian dan keteguhan hati Sadrakh, Mesakh, dan Abednego dalam mempertahankan iman mereka kepada Allah, meskipun harus menghadapi hukuman dari Raja Nebukadnezar.

Pdt. Yeni dalam khotbahnya menyampaikan dua poin utama dalam perenungan Firman Tuhan:

  1. Tetap Setia kepada Allah dan Memohon Kekuatan-Nya

    Pdt. Yeni  menekankan pentingnya kesetiaan mutlak kepada Allah, apapun akibat yang mungkin kita alami di masa depan. Ia mengajak jemaat untuk berdiri di atas kebenaran Firman Tuhan , menyatakan bahwa yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah. Seperti ketiga pemuda Ibrani dalam kitab Daniel, umat percaya diajak untuk tidak kompromi terhadap iman, dan selalu memohon kekuatan dari Tuhan untuk bertahan dalam ujian.

  2. Tekun dan Rajin dalam Melakukan Tugas dengan Iman

    Dalam poin kedua, Pdt. Yeni mengingatkan jemaat agar tetap rajin dan tekun dalam setiap tugas, sekecil apapun itu, karena Tuhan menghargai kesetiaan dan kerja keras yang dilakukan dengan iman. Bila kita melakukan bagian kita dengan sungguh-sungguh, maka Tuhan akan melakukan bagian-Nya untuk memberkati dan mengangkat kita. Ia juga menekankan agar umat tidak mudah tergoda oleh tawaran-tawaran dunia yang bisa menjauhkan dari prinsip iman.

Di akhir ibadah, Pdt. Yeni memberikan penguatan serta pesan peneguhan : "Selamat menjadi garam dan terang bagi lingkungan kerja dan masyarakat di sekitar kita."Ibadah ditutup dengan doa syafaat dan ramah tamah, mempererat tali persaudaraan dan solidaritas antar anggota UPP.  Ibadah UPP ini menjadi momen berharga untuk mempererat kebersamaan dan memperdalam spiritualitas sebagai abdi negara yang tetap berpaut kepada Tuhan. Amin

Wednesday, May 21, 2025

KASIH ALLAH MEMULIHKAN DAN MENGUTUS

Bacaan : Yohanes 21:15-19

Pendahuluan

Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus.
Hari ini kita akan merenungkan sebuah kisah luar biasa yang terjadi setelah Yesus bangkit. Ini bukan kisah tentang mujizat yang spektakuler, bukan juga tentang orang yang berhasil dengan gemilang dalam tugas dan pelayanan, tetapi tentang seorang murid yang Yesus yang gagal—namun dipulihkan dan dipakai kembali oleh Tuhan dalam misi keselamatan.
Namanya adalah rasul Petrus. Kita tahu, bahwa ia pernah dengan lantang berkata: “Sekalipun semua orang meninggalkan Engkau, aku tidak!” (Markus 14:29). Tapi ketika Yesus ditangkap, justru Petrus menyangkal Dia tiga kali.
Menurut pandangan dan budaya yang berlaku di Dunia, seseorang seperti Petrus harusnya dikeluarkan dari pelayanan. Budaya dan Tradisi dalam Dunia selalu memakai orang-orang yang berhasil, yang tidak pernah gagal, yang punya prestasi. Tetapi Yesus memanggil kembali orang yang justru pernah gagal dalam tugas dan pelayanan.
Itulah kontradiksi kasih Yesus—kasih yang tidak memakai standar dunia.

ISI KHOTBAH

a. Kasih Sejati Dimurnikan Lewat Pengalaman

Yesus bertanya kepada Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?”
Perhatikan: Yesus tidak memanggilnya "Petrus"-batu karang-tetapi kembali memakai nama lamanya: Simon. Ini menunjukkan bahwa Yesus mau membawa Petrus kembali ke titik awal ketika ia dipanggil, sebelum semua keberhasilannya, bahkan sebelum kegagalannya.
Pertanyaan Yesus ini bukan karena Yesus tidak mengetahui  jawabannya, melainkan untuk memperbaharui dan memulihkan hati Petrus. Inilah fakta bahwa tiga kali Petrus menyangkal, maka tiga kali pula Yesus bertanya.
Petrus yang dulu percaya diri dan berani, kini menjawab pertanyaan Yesus dengan rendah hati: “Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.”  Ia tak lagi menyombongkan diri seperti dulu. Kasihnya kini telah dimurnikan oleh pengalaman kegagalannya sendiri.
Saudara yang terkasih, kasih sejati tidak muncul dari keberhasilan, tetapi justru dimurnikan melalui pengalaman jatuh, bangkit, dan belajar bergantung kepada Tuhan.

b. Kasih Kepada Kristus Terbukti Dalam Pelayanan

Yesus bertanya lagi: “Apakah engkau mengasihi Aku?”. Dan setiap kali Petrus menjawab, Yesus tidak berkata, “Bagus, itu sudah cukup.” atau tepat sekali jawabanmu. Melainkan: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Artinya, kasih kepada Kristus bukan hanya tentang perasaan, tetapi bagaimana tindakan nyata, melayani, menggembalakan, dan merawat orang-orang yang Tuhan percayakan.
Yesus tidak berkata: “Kalau kamu mencintaiku, buktikan dengan prestasi besar dan luar biasa.” Tapi justru: “Buktikan dengan kesetiaan dalam menggembalakan.” Kasih harus dibuktikan dengan melayani, kepedulian, mengembalakan sesama, dan terutama setia dalam panggilan yang kecil maupun besar.

c. Kasih yang Sejati Siap Berkorban

Yesus lalu berkata kepada Petrus bahwa suatu hari ia akan dibawa ke tempat yang tidak ia kehendaki, sebuah nubuat tentang kematian Petrus sebagai martir.
Dan Yesus menutup percakapan ini dengan kalimat yang familiar: “Ikutlah Aku.” Kalimat ini sama seperti ketika Petrus pertama kali dipanggil. Bedanya, sekarang Petrus tahu artinya. Mengikut Yesus yang berarti setia sampai akhir, bahkan sampai kematian.

d. Dunia Membuang, Kristus Memulihkan

Saudara-saudari, mari kita bandingkan standar dunia dan standar Kristus:
Dalam tradisi Dunia selalu menghargai orang-orang yang sukses dan berhasil, sedangkan yesus memakai orang-orang yang gagal dan mau bertobat. Dunia selalu fokus pada prestasi, itu tidak salah karena memang seharusnya seperti itu, namu yesus lebih fokus pada nilai-nilai fundamental yaitu kasih dan kesetiaan yang telah Ia buktikan di kayu salib.

Sekiranya dalam proses, terjadi kegagalan, maka dunia akan mencoret sebagai rekam jejak yang kurang baik, tetapi Yesus mengulurkan tangan untuk memulihkan orang yang gagal dan terperosok dalam kejatuhan. Petrus yang pernah gagal, tetapi Yesus tidak mencoret namanya, justru kegagalan itulah  yang membentuknya menjadi pribadi yang rendah hati, setia, dan siap menggembalakan umatnya. Ini bukan hanya pertanyaan Yesus pada Simon Petrus, tetapi juga pertanyaan bagi kita semua.

Pertanyaan refleksi 

  1. Apakah saya sungguh-sungguh mengasihi Yesus?. Jika Yesus bertanya kepada saya seperti kepada Petrus, apa jawaban saya?
  2. Bagaimana kasih saya kepada Tuhan tercermin dalam tindakan saya sehari-hari? Apakah saya melayani, menggembalakan, atau memperhatikan sesama sebagai bentuk kasih saya kepada-Nya?
  3. Apakah saya pernah merasa gagal dalam iman atau pelayanan?  Jika ya, apakah saya percaya bahwa Tuhan bisa memulihkan dan memakai saya kembali seperti Petrus?
  4. Apa bentuk pelayanan atau panggilan yang Tuhan sedang taruh dalam hati saya saat ini? Apakah saya siap menjawab panggilan itu dengan kesetiaan, meski harus berkorban?
  5. Apa arti "mengikut Kristus" bagi saya hari ini?  Apakah saya siap untuk taat meskipun jalannya tidak mudah?

Penutup 

Jika hari ini Anda merasa seperti Petrus, pernah gagal, pernah menyangkal, pernah jatuh, ingatlah : Yesus tidak selesai dengan Anda. Kasih-Nya memulihkan dan kasih-Nya mengutus Anda kembali untuk melayani. Maukah Anda menjawab panggilan itu? “Ya Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Maka bersiaplah, karena Dia akan berkata: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Amin.





Tuesday, May 20, 2025

ALLAH HADIR UNTUK SEMUA BANGSA YANG TULUS (IBADAH RAYON SELASA, 20 MEI 2025)

Foto Rasul Petrus dan Kornelius

 Bacaan Alkitab : Kisah Para Rasul 10:34-35

“Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: 'Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.”

A. PENDAHULUAN

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Pernahkah kita merasa bahwa kasih Allah hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja? Mungkin karena latar belakang budaya, suku, atau status sosial kita, kita berpikir bahwa kita bukan "orang dalam" di hadapan Tuhan. Namun, bacaan kita hari ini menegaskan satu kebenaran agung: Allah tidak membedakan orang! Kasih dan kehadiran-Nya terbuka bagi siapa saja yang datang kepada-Nya dengan hati yang tulus dan hidup dalam kebenaran.

B.  ISI RENUNGAN

1. Siapakah Tokoh Utama dalam Perikop Ini?

Petrus adalah tokoh sentral yang menyampaikan kesadaran dan pengakuan penting tentang sifat Allah yang tidak membedakan orang. Ia berbicara dalam konteks pertemuannya dengan Kornelius, dan melalui pengalaman itu, ia mengalami transformasi pemahaman teologis yang mendalam.

2. Apakah yang Dilakukan Petrus?
  • Mengakui bahwa Allah tidak memandang muka (tidak diskriminatif).
  • Menyatakan bahwa siapa pun dari bangsa mana saja yang takut akan Allah dan melakukan kebenaran, berkenan kepada-Nya.
  • Mengubah pola pikir eksklusif sebelumnya yang menganggap hanya bangsa Yahudi yang layak menerima keselamatan.
  • Memberitakan Injil kepada Kornelius, seorang non-Yahudi, dan membuka jalan bagi misi kekristenan ke bangsa-bangsa lain.
3. Siapa Saja yang Menjadi Sasaran dari Tindakan Ini?
  • Kornelius dan keluarganya (bangsa bukan Yahudi/ kafir menurut pandangan Yahudi saat itu).
  • Para pengikut Yesus dari kalangan Yahudi yang menyaksikan bahwa Roh Kudus juga dicurahkan atas orang bukan Yahudi.
  • Gereja mula-mula sebagai komunitas yang sedang belajar memperluas cakupan misi mereka.
  • Seluruh umat manusia sebagai penerima pewahyuan bahwa keselamatan bersifat universal.
4. Nilai yang Perlu Diteladani dari Sikap Petrus
  • Kerendahan Hati dalam Mengakui Kesalahan. Petrus dengan rendah hati mengakui bahwa pemahaman sebelumnya salah: ia dulu berpikir bahwa Allah hanya hadir untuk orang Yahudi. Tapi sekarang ia berkata, “Sesungguhnya aku telah mengerti...” Ini adalah teladan pertobatan intelektual dan spiritual
  • Ketaatan kepada Tuhan. Petrus mengikuti visi ilahi yang membawanya ke rumah Kornelius, meski hal itu melawan norma sosial dan agama Yahudi saat itu. Ia bersedia melangkah keluar dari zona nyaman.
  • Inklusivitas dan Keadilan. Petrus menyuarakan prinsip keadilan ilahi yang tidak diskriminatif, mencerminkan karakter Allah yang menerima semua orang yang takut dan hidup benar.
5. Nilai Baru yang Diberikan dalam Perikop Ini
  • Keselamatan dan Hadirat Allah adalah Universal. Sebelumnya, keselamatan dianggap eksklusif bagi Yahudi. Tapi di sini, Allah menyatakan bahwa siapa saja, dari bangsa mana pun, dapat mengalami kasih karunia dan kehadiran-Nya.
  • Ukuran Iman Bukan Lagi Etnis atau Tradisi, Tetapi Ketulusan dan Kebenaran.  Ini adalah perubahan teologis besar. Ketulusan hati dan praktik kebenaran menjadi dasar untuk perkenanan Allah, bukan status lahiriah atau ritual agama.
  • Misi Gereja Bersifat Global.  Perikop ini menjadi fondasi misi lintas budaya dalam Kekristenan. Gereja dipanggil untuk keluar, bukan hanya mengabdi kepada kelompoknya sendiri.
6. Makna Alkitabiah
  • Allah mengutus Roh Kudus bahkan kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi (Kisah 10:44-45). Ini menunjukkan bahwa keselamatan adalah anugerah universal, bukan hak eksklusif suatu kelompok.
  • “Takut akan Tuhan” dan “mengamalkan kebenaran” menjadi ukuran iman yang sejati, bukan status etnis atau ritual agama.
7. Makna Filosofis
  • Perikop ini menghancurkan batasan eksklusivitas. Dalam filsafat, ini mengingatkan kita pada etika inklusif universal—semua manusia punya nilai dan martabat karena diciptakan oleh Tuhan.
  • Ini juga mencerminkan bahwa identitas sejati manusia bukanlah pada kebangsaannya, melainkan pada sikap batin terhadap kebenaran dan ketulusan hati.
8. Makna Rohaniah
  • Allah hadir di mana ada ketulusan dan kebenaran, bukan hanya di tempat yang “teratur” secara agama. Ini berarti bahwa hadirat-Nya bisa dialami siapa saja, bahkan oleh mereka yang mungkin belum mengenal semua doktrin tapi memiliki hati yang terbuka dan takut akan Tuhan.

C. CERITA INSPIRASI DAN ANALOGI KEHIDUPAN

Ada kisah tentang seorang misionaris yang pergi ke pedalaman Afrika. Ia bertemu dengan seorang kepala suku yang tidak pernah membaca Alkitab, tidak pernah beribadah di gereja, tetapi hidupnya penuh kasih, kejujuran, dan hormat kepada Sang Pencipta. Ketika Injil disampaikan, kepala suku itu berkata, “Saya tidak tahu nama Allahmu, tapi saya sudah mengenal-Nya dalam hati saya.”
Ini mirip dengan Kornelius—seorang non-Yahudi yang tulus, berdoa, dan memberi sedekah, dan Allah meresponnya.
Analogi: Seperti sinyal WiFi yang tersedia untuk siapa saja yang punya perangkat terbuka dan siap menerima, demikian pula hadirat Allah tersedia bagi siapa saja yang membuka hatinya dengan tulus.

D. IMPLIKASI DALAM KEHIDUPAN JEMAAT

  • Jangan eksklusif dalam iman. Kita dipanggil untuk membuka pintu gereja dan kasih kepada siapa pun, tanpa melihat latar belakang mereka.
  • Tumbuhkan ketulusan dalam hidup rohani. Allah lebih memperhatikan hati daripada penampilan luar atau rutinitas agama.
  • Dukung misi lintas budaya dan pelayanan lintas batas. Sebab Allah rindu hadir dan dikenal di semua tempat.

E. PERTANYAAN REFLEKSI

  1. Apakah saya masih memandang rendah orang lain karena latar belakang budaya atau agamanya?
  2. Apakah saya sudah hidup dalam ketulusan dan kebenaran yang sejati di hadapan Tuhan?
  3. Apakah gereja saya telah menjadi tempat yang terbuka bagi semua orang untuk mengalami hadirat Allah?

F. KESIMPULAN

Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk meruntuhkan sekat-sekat sosial, budaya, dan keagamaan yang membatasi kasih Allah. Allah hadir bukan hanya untuk satu bangsa, satu kelompok, atau satu tradisi. Ia hadir untuk semua yang tulus dan mencari Dia dengan hati yang takut akan Tuhan dan hidup dalam kebenaran.
Mari kita menjadi jemaat yang mencerminkan kasih universal itu—terbuka, inklusif, dan penuh kasih, sebab Tuhan kita adalah Tuhan segala bangsa. Amin



Monday, May 19, 2025

"DARI MADENE HINGGA SODAMOLEK: GMIT AJAK UMAT KEMBALI KE AKAR BUDAYA"

Foto bersama Petugas Liturgi 

Maumere, 18 Mei 2025Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Kalvari Maumere, kembali menggelar perayaan Minggu Budaya Etnis Rote Ndao dengan penuh khidmat dan semangat kebersamaan pada hari Minggu, 18 Mei 2025. Ibadah ini dilaksanakan dua kali, yakni Kebaktian Utama Minggu Pagi pukul 07.00 WITA dan Kebaktian Utama Minggu Sore pukul 17.00 WITA, yang dipimpin oleh Pendeta Kristin E. Bako-Pah, S.Th.

Perayaan ini mengambil bahan bacaan dari Yohanes 21:1–24, dengan tema "Penampakan Yesus Memperteguh Iman Umat Berbudaya". Dalam khotbahnya, Pdt. Kristin, menekankan bagaimana penampakan Yesus kepada para murid setelah kebangkitan menjadi penguatan iman, sekaligus pengingat pentingnya menjaga nilai-nilai budaya dalam kehidupan beriman.

Salah satu sorotan utama dalam ibadah ini adalah pengangkatan budaya Madene, yaitu budaya gotong royong khas masyarakat Rote. Pendeta Kristin,  menyampaikan keprihatinannya terhadap pergeseran nilai-nilai budaya lokal, yang kini mulai tergeser oleh individualisme dan hedonisme, sehingga semangat Madene makin terpinggirkan.

Selain itu, Pdt. Kristin, juga mengangkat pentingnya melestarikan ungkapan budaya “Sodamolek”, salam khas dalam bahasa Rote yang berarti “Tuhan Memberkati”. Ungkapan ini menurut beliau, bukan sekadar sapaan, melainkan wujud doa dan nilai spiritual yang luhur dalam budaya Rote.

Perayaan ini juga dimeriahkan dengan liturgi bernuansa budaya, khususnya dalam puji-pujian dan mazmur yang diiringi oleh tarian Kebalai, sebuah tarian tradisional Rote yang sarat makna kebersamaan dan syukur.

Beberapa vocal group turut mempersembahkan pujian dengan penuh semangat budaya, antara lain:

  • Mahanaim (dipimpin oleh saudara Kris Tomahu yang menjadi juara 2 Ajang Talenta  X Factor Indonesia 2024 asal Maumere , Kab. Sikka)

  • Yegarsahaduta

  • Glorify

  • Vocal Grup Paguyuban Etnis Rote, yang menyanyikan lagu berjudul "Ta Esa Boe", yang berarti “Tak Satu Pun” — lagu ini mengandung pesan bahwa tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan, dan menekankan nilai iman akan kasih dan penyertaan Tuhan dalam kehidupan baik dalam suka maupun duka. 

Minggu Budaya ini menjadi momen penting bagi umat GMIT untuk kembali merefleksikan akar budaya yang memperkaya kehidupan bergereja dan memperkuat identitas iman. Perayaan ini juga menjadi ajakan untuk melestarikan budaya lokal sebagai bagian dari kesaksian hidup Kristiani yang kontekstual.

Sodamolek! Tuhan Memberkati!





IMAN TEGUH DI TENGAH TEKANAN BUDAYA (KISAH SADRAKH, MESAKH DAN ABEDNEGO)

 Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego

Bacaan: Daniel 3:28–30

3:28 Berkatalah Nebukadnezar: "Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego! Ia telah mengutus malaikat-Nya  dan melepaskan   hamba-hamba-Nya, yang telah menaruh percaya  kepada-Nya, dan melanggar titah raja, dan yang menyerahkan tubuh mereka, karena mereka tidak mau memuja dan menyembah allah manapun kecuali Allah  mereka. 3:29 Sebab itu aku mengeluarkan perintah,  bahwa setiap orang dari bangsa, suku bangsa atau bahasa manapun ia, yang mengucapkan penghinaan terhadap Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego, akan dipenggal-penggal dan rumahnya akan dirobohkan menjadi timbunan puing, karena tidak ada allah lain yang dapat melepaskan  secara demikian itu." 3:30 Lalu raja memberikan kedudukan tinggi kepada Sadrakh, Mesakh dan Abednego  di wilayah Babel.

PENDAHULUAN

Cerita Inspiratif – “Lilin di Ruang Gelap”
Seorang anak kecil bertanya kepada ibunya, “Ibu, mengapa kita harus menjadi berbeda dari teman-teman di sekolah?” Ibunya mematikan lampu dan menyalakan sebatang lilin. Ia berkata, “Nak, lihatlah. Di tengah kegelapan, satu lilin kecil pun bisa menerangi seluruh ruangan. Tapi jika lilin itu padam, kita semua akan gelap.”
Begitu pula hidup kita sebagai orang percaya—dalam dunia yang penuh kompromi, Tuhan memanggil kita untuk tetap menjadi terang, meskipun berbeda dan bahkan ditolak.

Analogi – “Arus Sungai”
Hidup dalam budaya dunia ini seperti berenang melawan arus sungai. Jika kita tidak berenang dengan kekuatan iman, kita akan hanyut mengikuti arus dunia. Kita butuh keteguhan iman untuk tetap berdiri dan tidak terbawa arus nilai-nilai yang bertentangan dengan Firman Tuhan.

ISI RENUNGAN

1. Makna Budaya dan Tekanan Sosial

Budaya adalah sistem nilai, kebiasaan, dan norma yang membentuk cara hidup suatu masyarakat. Budaya bisa menjadi sarana ekspresi yang indah, tetapi juga dapat menjadi alat penekan ketika bertentangan dengan iman kepada Tuhan.

Budaya adalah anugerah Tuhan yang membentuk identitas, tapi juga bisa menjadi alat penekan jika melawan nilai-nilai kebenaran. Dalam konteks NTT dan Sikka, terdapat nilai-nilai budaya yang luhur, namun juga terdapat tekanan budaya yang dapat menantang keteguhan iman orang percaya.

  • Namun, ada pula aspek budaya lokal yang bisa menjadi tekanan bagi iman Kristen, contohnya:

    • Dominasi ikatan adat dan takhayul:
      Dalam beberapa konteks, kehadiran gereja sering ditantang oleh praktik adat yang bercampur dengan unsur mistik atau kepercayaan roh leluhur. Misalnya, kewajiban ikut ritus adat tertentu meskipun bertentangan dengan ajaran gereja.

    • Tekanan sosial untuk konformitas:
      Di beberapa kampung, orang Kristen minoritas kadang mengalami tekanan agar mengikuti tata cara umum—meski itu bertentangan dengan keyakinan pribadi.

    • Perayaan adat yang disertai minuman keras dan pertengkaran:
      Budaya pesta sering diwarnai konsumsi alkohol yang berlebihan, berujung konflik—yang bisa menjatuhkan kesaksian iman.

    • Pola pikir fatalistik (pasrah pada nasib):
      Alih-alih hidup dalam iman dan harapan, sebagian orang masih terjebak pada pandangan “biarkan saja, sudah begini dari dulu”—padahal Tuhan memanggil umat-Nya untuk hidup dengan iman dan bertumbuh.

2. Konteks Pemerintahan: Kerajaan Babel di Bawah Nebukadnezar II

  • Sadrakh, Mesakh, dan Abednego hidup pada masa penawanan bangsa Yehuda ke Babel, sekitar abad ke-6 SM.

  • Nebukadnezar II adalah raja Babel yang sangat kuat dan berkuasa. Ia memerintah dari tahun 605–562 SM dan dikenal sebagai penguasa yang otoriter dan absolut, yang memusatkan segala kekuasaan pada dirinya sendiri.

  • Ia menaklukkan banyak bangsa, termasuk Yehuda, dan membawa orang-orang muda yang berbakat (seperti Daniel dan kawan-kawannya) ke istana untuk dilatih dalam budaya dan ilmu Babel (Daniel 1:3–5).

  • Nebukadnezar memandang dirinya hampir seperti dewa. Ia membangun patung emas besar (Daniel 3:1), yang menjadi lambang kekuasaan absolut dan menuntut semua orang menyembahnya sebagai bentuk loyalitas kepada negara.

3. Budaya Babel: Sinkretisme dan Pemuliaan Raja

  • Budaya Babel sangat majemuk (multi-bangsa) karena banyak bangsa dijajah dan dibawa ke Babel. Akibatnya, muncul sinkretisme (pencampuran berbagai kepercayaan dan agama).

  • Sistem kepercayaan mereka politeistik, menyembah banyak dewa, dan mendewakan raja. Ketaatan kepada raja dianggap setara dengan penyembahan ilahi.

  • Dalam konteks itu, menolak menyembah patung emas bukan hanya dianggap pemberontakan agama, tetapi juga politik.

  • Budaya Babel menekankan keseragaman dalam ibadah dan ketaatan. Tidak boleh ada orang yang berbeda atau melawan sistem.

4. Tantangan Bagi Orang Yahudi

  • Bagi orang Yahudi seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, menyembah selain Yahweh adalah dosa besar (lihat Keluaran 20:3–5).

  • Mereka dihadapkan pada konflik langsung antara iman kepada Allah dan tuntutan budaya serta sistem politik Babel.

  • Namun mereka memilih untuk tetap setia pada hukum Allah, meskipun harus menghadapi ancaman dapur api.

Tekanan budaya atau sosial muncul saat mayoritas masyarakat memaksakan norma dan kebiasaan mereka kepada individu—termasuk kita sebagai orang percaya. Dalam Daniel 3, budaya Babel memaksakan penyembahan kepada patung emas. Semua harus tunduk, tanpa kecuali. Ini adalah tekanan kolektif yang sangat kuat.

5. Makna Filosofis: Kebebasan atau Kesetiaan?

Secara filsafat, manusia dianggap bebas memilih. Namun Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menunjukkan bahwa kebebasan sejati bukanlah melakukan apa yang diinginkan banyak orang, tetapi tetap setia kepada nilai kebenaran yang tak berubah—yaitu Tuhan.

Mereka tidak memilih aman, tetapi memilih benar. Mereka tahu, hidup bukan soal selamat dari api, tetapi soal hidup untuk menyenangkan Tuhan.

Seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego di Babel, kita juga hidup di tengah budaya dengan nilai campuran. Tuhan tidak menyuruh kita meninggalkan budaya, tapi menggarami dan menerangi budaya itu dengan iman yang teguh.

Mereka tidak memberontak pada raja, tapi juga tidak tunduk kepada budaya yang memaksa mereka mengingkari iman.

6. Makna Alkitabiah: Menolak Kompromi demi Iman

Dalam ayat 28, Raja Nebukadnezar mengakui bahwa tiga pemuda ini "menaruh percaya kepada-Nya dan melanggar perintah raja serta menyerahkan tubuh mereka."
Ini adalah definisi iman yang sejati—yaitu keberanian untuk tetap setia kepada Allah, meski harus membayar harga tinggi. Mereka tidak menentang budaya demi pemberontakan, tapi demi ketaatan kepada Tuhan.

7. Makna Rohaniah: Allah Menyatakan Diri di Tengah Tekanan

Ketika mereka dilempar ke dalam dapur api, Tuhan hadir bersama mereka (ayat sebelumnya menyebut sosok keempat seperti anak dewa).
Tuhan tidak menjanjikan hidup tanpa tantangan, tetapi Dia menjanjikan penyertaan di dalam tantangan. Tekanan budaya bisa menjadi panggung bagi Tuhan menyatakan kuasa-Nya jika kita tetap berdiri teguh.

IMPLIKASI DALAM KEHIDUPAN JEMAAT

  1. Tekanan budaya zaman ini datang dalam bentuk gaya hidup materialistis, toleransi tanpa batas, pergaulan bebas, konsumerisme, dan pemahaman bahwa semua kebenaran itu relatif.

  2. Sebagai jemaat, kita harus mengenali dan menilai budaya melalui kacamata Firman Tuhan, bukan sebaliknya.

  3. Jangan takut berbeda. Iman teguh justru ditunjukkan saat kita mampu berdiri sendirian untuk kebenaran.

  4. Kesaksian hidup kita bisa membawa perubahan, sebagaimana Nebukadnezar akhirnya mengakui kebesaran Allah karena keberanian tiga hamba-Nya.

PERTANYAAN REFLEKSI

  1. Budaya apa yang saat ini paling menekan iman Anda untuk berkompromi?

  2. Apakah Anda lebih takut tidak diterima oleh manusia atau tidak berkenan di hadapan Allah?

  3. Apa bentuk keteguhan iman yang Tuhan minta Anda tunjukkan minggu ini—di rumah, pekerjaan, media sosial, atau pergaulan?

KESIMPULAN

Sadrakh, Mesakh, dan Abednego mengajarkan kita bahwa iman yang sejati diuji di tengah tekanan budaya.

Mereka berdiri bukan karena kekuatan diri, tetapi karena mereka mengenal Allah yang mereka sembah.
Budaya akan terus berubah. Dunia akan terus menekan kita untuk menjadi serupa dengannya. Tetapi seperti yang tertulis dalam Roma 12:2:
Jadilah lilin di tengah kegelapan. Jadilah suara di tengah bisu. Jadilah umat yang setia di tengah arus zaman.

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu…”

Mari berdiri teguh, bukan karena kita kuat, tetapi karena kita percaya kepada Allah yang sanggup menyertai dan memuliakan diri-Nya melalui hidup kita.

Amin.

Saturday, May 17, 2025

SENTUHAN YANG MENYEMBUHKAN (IBADAH RAYON, SELASA 13 MEI 2025)

Bacaan: Markus 5:21–34

5:21 Sesudah Yesus menyeberang lagi dengan perahu, orang banyak berbondong-bondong datang lalu mengerumuni Dia. Sedang Ia berada di tepi danau, 5:22 datanglah seorang kepala rumah ibadat yang bernama Yairus. Ketika ia melihat Yesus, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya 5:23 dan memohon dengan sangat kepada-Nya: "Anakku perempuan sedang sakit, hampir mati, datanglah kiranya dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, supaya ia selamat dan tetap hidup." 5:24 Lalu pergilah Yesus dengan orang itu. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan berdesak-desakan di dekat-Nya. 5:25 Adalah di situ seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan. 5:26 Ia telah berulang-ulang diobati oleh berbagai tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama sekali tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin memburuk. 5:27 Dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya. 5:28 Sebab katanya: "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh." 5:29 Seketika itu juga berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya sudah sembuh dari penyakitnya. 5:30 Pada ketika itu juga Yesus mengetahui, bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya, lalu Ia berpaling di tengah orang banyak dan bertanya: "Siapa yang menjamah jubah-Ku?" 5:31 Murid-murid- ya menjawab: "Engkau melihat bagaimana orang-orang ini berdesak-desakan dekat-Mu, dan Engkau bertanya: Siapa yang menjamah Aku?" 5:32 Lalu Ia memandang sekeliling-Nya untuk melihat siapa yang telah melakukan hal itu. 5:33 Perempuan itu, yang menjadi takut dan gemetar ketika mengetahui apa yang telah terjadi atas dirinya, tampil dan tersungkur di depan Yesus dan dengan tulus memberitahukan segala sesuatu kepada-Nya. 5:34 Maka kata-Nya kepada perempuan itu: "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat h dan sembuhlah dari penyakitmu!"

PENDAHULUAN: Cerita dan Budaya Sentuhan

Seorang anak kecil sedang berjalan di tengah pasar yang ramai bersama ibunya. Dalam sekejap, sang anak terlepas dari genggaman dan tersesat. Ia menangis, kebingungan, tak tahu harus ke mana. Banyak orang mencoba menenangkannya, tapi sang anak tetap ketakutan. Namun saat ibunya datang dan memeluknya, air matanya berhenti, wajahnya kembali tenang. Sentuhan itu menyampaikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan kata-kata—rasa aman, kasih, dan kepastian.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal kekuatan dari sebuah sentuhanKetika kita melayat orang yang meninggal, biasanya ada bentuk sentuhan fisik sebagai ungkapan empati kepada keluarga yang berduka, seperti menjabat tangan, memeluk, atau menepuk bahu. Begitu juga saat bertemu seseorang dalam berbagai acara, baik pesta maupun duka, berjabat tangan menjadi bentuk sapaan yang umum dan penuh makna. Sentuhan tersebut bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga wujud perhatian, kepedulian, dan kebersamaan.

Namun, sentuhan manusiawi ini hanya dapat menjangkau permukaan. Ada luka-luka dalam hidup yang hanya bisa dijamah dan disembuhkan oleh sentuhan ilahi—sentuhan dari Yesus.

ISI KHOTBAH

a. Makna Filosofis: Sentuhan yang Memulihkan

Secara filosofis, sentuhan adalah simbol keterhubungan manusia satu sama lain. Kita hidup dalam dunia yang terfragmentasi, di mana banyak orang merasa terasing, tak terlihat, dan tak dihargai. Sentuhan yang tulus mengembalikan martabat manusia, menguatkan eksistensi, dan menghadirkan kenyataan bahwa seseorang tidak sendirian.

Perempuan dalam kisah ini telah lama hidup dalam isolasi sosial dan spiritual. Ia dianggap najis, tidak boleh disentuh, dan tidak boleh menyentuh orang lain. Tetapi dengan keberanian dan kerinduan untuk sembuh, ia memilih untuk menjamah jubah Yesus. Ini adalah tindakan eksistensial—sebuah usaha terakhir untuk kembali menjadi manusia yang utuh. Maka, sentuhan ini adalah tindakan filosofis menuju pemulihan relasi, jati diri, dan harapan.

b. Makna Alkitabiah: Iman yang Menyentuh Hati Tuhan

Dalam Alkitab, tindakan menyentuh bukan hanya tentang fisik, tetapi adalah tindakan iman. Banyak orang mengerumuni Yesus, tetapi hanya satu perempuan yang menyentuh dengan iman. Perempuan ini berkata, “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.” (Markus 5:28).

Yesus merespons bukan karena Dia merasa terganggu, tetapi karena Dia mengenali kuasa yang keluar dari-Nya akibat iman seseorang. Di tengah keramaian, Tuhan tetap peka terhadap satu orang yang mencari-Nya dengan sungguh-sungguh.

Perikop ini mengajarkan bahwa iman yang aktif, meski sederhana, menarik kuasa ilahi. Sentuhan fisik itu adalah wujud dari keyakinan rohani yang mendalam.

c. Perempuan yang Menyentuh Jubah Yesus: Kisah Iman dan Pemulihan

Perempuan ini telah menderita selama 12 tahun. Ia mengalami:

  • Penyakit fisik: pendarahan terus-menerus.
  • Penderitaan sosial: dijauhi masyarakat karena dianggap najis.
  • Kesulitan ekonomi: hartanya habis untuk pengobatan yang tidak menolong.
  • Keterasingan rohani: tidak bisa beribadah karena dianggap tidak layak.

Tetapi perempuan ini tidak membiarkan rasa malu atau takut menghentikannya. Ia datang dari belakang, menjamah jubah Yesus, dan pada saat itu juga, ia sembuh.

Yesus kemudian memanggilnya ke depan. Bukan untuk memarahi, tetapi untuk memulihkan identitasnya secara utuh. Ia berkata, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau.” Ini bukan hanya penyembuhan tubuh, tetapi pemulihan relasi, harga diri, dan martabat.

d. Makna Rohaniah: Pemulihan Total oleh Sentuhan Yesus

Secara rohani, kisah ini menggambarkan pemulihan yang menyeluruh:

  • Tubuh disembuhkan
  • Hati dipulihkan dari rasa malu
  • Roh dikuatkan dengan pengakuan Yesus
  • Identitas dipulihkan sebagai "anak-Ku"

Yesus tidak hanya menyembuhkan secara fisik. Ia menyapa perempuan itu sebagai "anak-Ku", sebuah sebutan penuh kasih. Itu berarti perempuan ini sekarang diakui, diterima, dan dikasihi secara pribadi oleh Sang Juruselamat.

Rohani kita pun sering terluka—oleh dosa, kegagalan, trauma, dan penolakan. Namun, sentuhan kasih Yesus menyembuhkan luka yang tak terlihat, memulihkan apa yang hilang, dan mengangkat kita kembali dalam kasih-Nya.

IMPLIKASI DALAM KEHIDUPAN JEMAAT

  1. Bangun Iman yang Aktif dan Berani. Seperti perempuan itu, kita dipanggil untuk melangkah dengan iman—meskipun dalam ketakutan dan kelemahan.
  2. Yesus Melihat yang Tersembunyi. Dalam keramaian dunia, kita sering merasa tak terlihat. Tapi Tuhan mengenal setiap hati yang merindukan-Nya.
  3. Gereja Harus Menjadi Tempat yang Menyentuh dan Menyembuhkan. Jadilah tangan-tangan Kristus—menyentuh mereka yang terluka, menguatkan yang lemah, memulihkan yang terbuang.

PERTANYAAN REFLEKSI

  • Apakah saya  sungguh menyentuh Yesus dengan iman, atau hanya berada di sekeliling-Nya?
  • Apa luka dalam hidup saya yang belum saya bawa kepada Yesus?
  • Apakah saya percaya bahwa Yesus dapat dan mau memulihkan saya sepenuhnya?
  • Apakah saya sudah menjadi pribadi atau anggota jemaat yang membawa sentuhan kasih Kristus bagi sesama?

KESIMPULAN

Satu sentuhan kecil—dengan iman yang besar—mengubah seluruh hidup perempuan itu. Yesus tidak hanya menyembuhkan tubuhnya, tetapi mengangkat martabat dan menyapanya sebagai anak yang dikasihi.

Hari ini, Yesus yang sama masih hadir, dan kuasa penyembuhan-Nya tidak berubah. Apakah kita mau menjangkau-Nya dengan iman dan membiarkan diri kita disentuh oleh kasih-Nya?

Sentuhan Yesus memulihkan, menyelamatkan, dan mengubah hidup kita selamanya.